Feeds:
Pos
Komentar

Akhir Januari 2013 kemarin, aku dapat giliran pertama menemani ibu untuk memenuhi panggilan-Nya melakukan ziarah (umrah) ke Haramain, maklum anak sulung, jadi pasti dapat giliran awal hehehe. Berhubung travel yang kami pakai adalah travel dari jogja, maka rute keberangkatan kami adalah Jogja, Jakarta dan terakhir Jeddah. Program yang kami ambil adalah program 13 hari, dimana 6 hari dihabiskan di Mekkah sedangkan 5 hari sisanya di Madinah.

Setelah transit selama 3 jam di Soekarno Hatta (gak kerasa nunggu lama, soalnya kami nunggu di lounge garuda yang mana kita bebas ambil makanan sepuasnya haha) pukul 13.00 kami mulai memasuki pesawat Boeing 777-300ER milik maskapai Saudi Airlines. Gak nyangka seisi pesawat penuh dengan jamaah yang hendak melaksanakan ibadah umrah dari berbagai pelosok tanah air. Pramugari yang melayani pun asli orang Indonesia. Saat kutanyakan pada ustadz pembimbing, beliau mengatakan bahwa biasanya kondisinya memang seperti ini. Rute Jakarta-Jeddah umumnya dominan oleh penumpang asal Indonesia yang hendak melaksanakan ibadah umrah. Lanjut Baca »

Waktu masih menunjukkan pukul 16.00 waktu setempat, namun kami bertiga belum berpikir untuk melepaskan selimut. Angin pegunungan yang masuk melalui celah-celah ventilasi rumah cukup membuat kami betah berlama-lama di dalam selimut walau cuaca di luar sana relatif cerah. Secangkir kopi hangat dan sepiring ubi goreng rupanya tak mampu menahan aliran hawa dingin merasuk ke sumsung tulang. Bu Shinta, pemilik rumah tempat kami tinggal yang sudah kami anggap sebagai orang tua sendiri berkali-kali menawarkan air panas untuk mandi sore. Tawaran yang langsung kuiyakan, walaupun salah seorang teman yang telah sering pergi ke Bromo menganjurkan untuk mandi menggunakan air dingin demi merasakan sensasinya. Lanjut Baca »

Semburat fajar itu kemudian merekah merah di atas sisa-sisa erupsi, dingin udara yang membandel menembus 3 lapis jaket seolah tak terasa, terganti oleh keindahan ayat-ayat kauniah-Nya, and here i’m! Bromo! didominasi oleh 85% wisatawan asal mancanegara sudah cukup menjadi postulat tentang keindahan alam Tengger, dan psstt.. kalo anda perhatikan salah satu scene foto yang diambil dari atas tangga, ada seorang jilbaber di sebelah kiri sedang mengabadikan alam bromo dengan HP-nya, asal tahu aja dia berasal dari Jerman 🙂 (gak penting banget)

Selasa, 6 Maret 2012 kemarin saya dan beberapa teman berkesempatan untuk menonton film Negeri 5 Menara di salah satu bioskop di Yogyakarta. Selain karena penasaran akan isi cerita dari film yang disebut-sebut sedikit berbeda dengan versi novelnya (begitu yang dipaparkan oleh sang penulis novel dalam acara di stasiun televisi swasta pagi harinya), momen tersebut juga akan saya gunakan untuk sedikit bernostalgia tentang masa-masa “prihatin” dahulu di pesantren.

Tak diduga, kami bertemu beberapa kawan yang bisa dikatakan aktif di kegiatan kampus di lobbi bioskop. Hipotesis awal saya mengatakan bahwa mereka-mereka ini sedang mencari dorongan semangat untuk menyelesaikan skripsi mereka yang tak kunjung usai. Maklum, sebagian besar diantaranya sudah duduk di semester 10. Dan film Negeri 5 Menara dengan mantra terkenalnya “Man Jadda wa Jadda” agaknya cukup untuk dijadikan sebagai sebuah faktor pendorong. Di samping itu, agak terkejut pula saya melihat banyaknya animo masyarakat yang ingin menonton film yang sama. Pemandangan yang mungkin berbeda seandainya saat itu saya berada di Surabaya di bioskop dengan merk yang sama.

Akhirnya film pun diputar tepat pukul 20.20. Harapan saya untuk sedikit bernostalgia mengenang masa-masa di pesantren lumayan dapat terobati. Hampir semua plot cerita dalam film tersebut pernah saya alami, tentunya di lokasi yang berbeda. Alif Fikri dan saya sama-sama merasa terzalimi ketika harus memasuki dunia baru (baca:pesantren). Ehm, lulus SMP paling favorit di Sidoarjo, sebenarnya secara de facto dan de jure saya sudah bisa dipastikan masuk ke SMA paling favorit pula di Sidoarjo. Adegan berikutnya sudah dapat anda tebak sendiri. Namun paling tidak ada sejumlah kesamaan yang ada di antara kami berdua, saya dan Alif Fikri (sok akrab) di luar impian kami sedari kecil yang sama-sama ingin memasuki kampus ITB, tentunya dengan cerita yang lebih konyol bin ajaib, yakni sebagai berikut: Lanjut Baca »

Adian Husaini pernah mengatakan dalam salah satu tulisannya, para pelaku dakwah dapat dibedakan menjadi 3 tipe. Tipe pertama adalah tipe penceramah. Mereka yang termasuk ke dalam golongan ini adalah mereka-mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam retorika, namun minim karya tulis ilmiah. Tipe kedua kebalikan dengan tipe yang pertama, yakni tipe wartawan. Mereka tidak memiliki kelebihan dalam retorika public, namun mempunyai keunggulan dalam menghasilkan karya-karya tulis ilmiah. Sedangkan tipe yang ketiga adalah kombinasi di antara keduanya.

Jujur saja  saya merasa bingung harus dimasukkan ke tipe yang mana nama saya. Kemampuan orator tidak punya. Karya tulis pun hanya bisa kuhasilkan secara berkala, kala-kala terbit, kala-kala pula tidak. Apalagi dengan kombinasi keduanya.

Dengan kondisi yang seperti itu, saya sempat agak khawatir ketika harus mendapatkan amanah di bulan Ramadhan 1432H kemarin. Awalnya karena sudah bosan dengan suasana ramadhan di kampus, saya memberanikan diri untuk mendaftar menjadi sukarelawan dalam kepanitiaan pesantren kilat SD-SMP-SMA di Yogyakarta. Tidak ada dalam benak pikiran saya kalau nantinya saya bakal diplot untuk menjadi salah satu tenaga pengajar. Maka ketika panitia menunjuk saya dan beberapa ikhwah lainya dari UGM untuk menjadi pengajar, saya sempat merasa cemas. Apalagi yang harus saya ajar adalah teman-teman  SMA 3 Yogyakarta yang terkenal cerdas dan kritis (ehm… walaupun sejatinya saya lebih cerdas di atas mereka). But the show must go on. Jangan lari dari kenyataan, begitulah kata hati saya. Lanjut Baca »

Suatu saat, ditengah perkuliahan, dosen saya tiba-tiba menghentikan penjelasannya dan beliau memberikan suatu cerita yang cukup berkesan bagi saya dan semua mahasiswa yang hadir dalam ruangan itu. Beliau bercerita, dahulu ketika masih muda pernah diajak oleh salah seorang yang cukup berpengaruh di Badan Vulkanologi Jogjakarta – nama lembaga ini saya sedikit lupa, tapi kira-kira seperti itu – pergi ke puncak Gunung Merapi. Setelah beberapa jam mendaki, akhirnya sampailah beliau dan temannya tersebut di salah satu kawah Merapi (kawah kering). Sambil melepas lelah di dekat kawah tersebut, beliau ditanya oleh temannya kira-kira bagaimana jika gunung yang sedang mereka daki itu tiba-tiba meletus. Sambil memakan bekal yang mereka bawa, dosen saya dengan santai menjawab bahwa mau bagaimana lagi jika kenyataannya begitu.

Sejenak beliau menghentikan ceritanya karena suasana kelas yang tadinya hening menjadi agak ramai karena banyak di kalangan mahasiswa yang hadir di sana tidak bisa menahan gelinya mendengar pertanyaan dan jawaban seperti itu.

Tak lama kemudian sambil tetap tersenyum, beliau melanjutkan ceritanya bahwa temannya sampai mengulangi pertanyaannya beberapa kali dan dijawab oleh beliau juga dengan jawaban yang sama serta menambahkan bahwa di sekeliling mereka yang ada hanyalah jurang-jurang yang terjal, jadi mustahil untuk melarikan diri dari sana seandainya gunung yang mereka injak tiba-tiba meletus. Lanjut Baca »